Menjadi seorang guru 

Menjadi seorang guru adalah cita-citaku sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, setiap kali ada pertanyaan apa cita-citamu? Menjadi guru adalah jawaban paling utamaku. Namun ternyata seiring berjalannya waktu keinginan itu seakan memudar, entah karena penyaksian atas sulitnya menjadi guru atau karena itu memang bukan passionku. 

Tapi lagi lagi tapi, Qadarullah aku kembali diterjunkan di dunia itu, ya apalagi selain menjadi guru.

Awal terjun menjadi seorang guru adalah dirumahku sendiri, setelah 3 tahun lamanya aku tak pernah menetap disana selain hari raya idul fitri membuatku merasa jauh dari anak-anak tak seperti dulu, ketika aku bertanya satu hal yang harusnya mereka dapat menjawab, namun ternyata mereka bungkam, jujur ini membuat hatiku teriris, hati orang tua mana yang tak sedih jika anak yang harusnya sudah dapat menjawab pertanyaan mudah untuk seusianya namun tak dapat dijawab. Dan itulah awal motivasi aku mengajar dirumahku sendiri. 

Kepulangan ku setelah 3 tahun merantau tepatnya tanggal 2 Desember 2022, aku memutuskan untuk pulang dan meninggalkan tempat kerjaku, yang bisa dibilang itu lebih dari cukup untuk aku, namun disatu sisi, aku merasa bersalah karena pertanyaan anak-anak selalu sama dipanggilan telpon itu, dengan nada nya yang khas pertanyaan itu terlontar lebih dari 3 kali setiap aku dan anak-anak berkabar, “Ma Nana’ kapan pulang, kapan kita ngaji lagi?”. 

Sontak aku hanya dapat tersenyum dan menyemangati mereka agar tetap mengaji ditempat lain lagi. Akupun memancing semangat mereka dengan hadiah yang akan aku belikan jika mereka berhasil naik ke jilid berikutnya, yah seperti itulah salah satu keindahanya mengajar.

Tapi ternyata menjadi guru hanya didalam rumah tak dapat aku lanjutkan lagi, karena beberapa alasan dan pertimbangan yang telah aku pikirkan. 

Akhirnya dengan keputusan yang telah ku buat, istikharah yang telah aku lakukan dan musyawarah dengan keluarga, aku memilih kembali merantau dan meninggalkan mereka. Ini bukan hal yang mudah, meski kadang menjadi guru mereka adalah hal yang menyebalkan, tapi tetap saja langkah kaki kepergianku pada hari itu benar-benar berat. Ditambah pertanyaan sebelum aku pergi “Nanti kita ngaji sama siapa kalau Ma Nana ke Kota lagi”? 

“Sekarang ngaji sama Pak uwa’ dulu ya, nanti kalau Ma’ Nana sudah pulang kita ngaji bareng lagi”,jawabku pura-pura tegar. 

Sebenarnya kepergianku pada hari itu bukan untuk menjadi seorang guru, tapi aku akan melanjutkan tugasku yaitu mencari ilmu. 

Aku memutuskan mencari ilmu di Hafizhah Pengusaha, dan ternyata disini pula aku diterjunkan kembali kedunia pembelajaran. 

Hari pertama mengajar bukan untuk anak-anak yang sudah kukenal seperti dirumah, mereka benar-benar anak yang bisa dibilang sangat asing bagiku, tapi sambutan hangat dari mereka membuatku dapat merasakan kehadiran anak-anak dirumah, keceriaan dan semangat mereka membuatku rindu anak-anak. Tapi lagi lagi ini bukan anak-anakku dirumah. 

Berbicara didepan 17 orang anak-anak adalah hal yang bisa dibilang pertama kali aku lakukan selama aku hidup 21 tahun didunia, berlebihan banget yak.

Tapi jujur itu benar terjadi, aku bukan orang yang terbiasa berbicara didepan umum, aku juga bukan orang yang terbiasa berbicara banyak, tapi lagi lagi aku harus melakukan itu karena itu salah satu kewajibanku. 

Hari pertama ini aku yang memimpin untuk perkenalan dengan malu-malu dan mungkin suara yang hampir tak terdengar aku mengenalkan satu persatu ustadzah yang akan mengajar nanti, antusias anak-anak pada hari itu membuatku sedikit percaya diri, ternyata mengajar itu tidak sesulit yang aku bayangkan. 

Seiring berjalannya waktu dan bertemu dengan mereka membuatku terus belajar bagaimana cara mengajar yang baik, bagaimana memperlakukan anak dan masih banyak lagi. 

Dipertemukan dengan kurang lebih 17 anak yang memiliki tipe berbeda adalah salah satu tantangan menjadi seorang guru. 

Dituntut menjadi sabar adalah hal yang nomor 1, sebelum mengajarkan sesuatu kepada anak-anak sudah seharusnya kita menanamkan dihati kita untuk tidak berekspetasi tinggi, kita tak boleh menuntut mereka untuk bisa hanya dengan satu kali penjelasan. Tak boleh menuntut mereka berani berdiri dan menjelaskan sesuatu yang baru pertama kali mereka dengar, yah intinya bagaimana caranya ilmu itu mereka tangkap dengan senang dan dapat terus mereka ingat diperjalanan pulang kerumah bahkan hingga sampai didalam rumah mereka sendiri. 

Mengajar mereka kurang lebih sudah hampir satu bulan membuatku sadar, ternyata benar mendidik anak itu bukan hal yang mudah, harus punya benteng pertahanan didiri sendiri yang terus menguatkan jika terjadi suatu hal yang tidak menyenangkan didunia belajar. 

Dan hal itu pasti terjadi, tapi itu bukan berarti mereka tidak suka, jadi sabar yah untuk para guru diluar sana. 

Ada satu perkataan yang aku dapat disebuah buku yang berbunyi jika kamu sedang berbicara dengan anak kecil, maka berlakulah seperti anak kecil tersebut, maka ia akan terbuka kepadamu. 

Awalnya itu terdengar tak masuk akal dipemikiranku, tapi ternyata itu terbukti secara prakteknya. 

Anak kecil itu suka berbicara, tapi bukan berarti ia tak bisa mendengarkan orang lain. 

Anak kecil itu suka bermain, tapi bukan berarti pula ia tak suka belajar. 

Hasil pengamatan selama 1 bulan mengajar mereka membuatku semakin mengenal dengan karakternya masing-masing. 

Ada yang pendiam, standar, bahkan ada juga yang paling aktif. 

Menjadi seorang guru ternyata tak sesulit kalimat diawal cerita ini, benar tugasnya yang berat tapi pahalanya yang setimpal nanti harusnya menjadi pendorong kita untuk terus semangat mengajarkan kepada mereka. 

Apalagi ditambah tugas mengajarkan mereka menghafal Ar-Rahman, itu sangat luar biasa. 

Mencari cara agar mereka tak bosan mengulang apa yang telah mereka hafal. 

Semakin banyak tantangan dihari-hari berikutnya, 

Mulai dari ada anak yang tak mau membuka mulut, ada anak yang tertinggal 1 ayat hafalannya, bahkan ada anak yang ingin selalu berbicara, tapi itu hanyalah masalah-masalah biasa yang menjadi bumbu di perjalanan mengajar. 

Tapi ada satu kesenangan tersendiri apalagi ketika aku melihat anak-anak itu membaca dengan semangat satu persatu ayat Ar-Rahman yang awalnya mereka tak pernah menghafalnya kini dapat mereka baca dengan lancar hingga sampai ayat 10 dalam waktu satu bulan. Jujur itu menjadi prestasi yang aku banggakan. 

Mengajari mereka bagaimana adab dengan Al-Qur’an. 

Yah intinya pasti banyak kesenangan tersendiri dibalik suka dukanya mengajar, tapi tetap harus kembali ke tujuan awal kita apa untuk mengajar. 

Semoga dengan pengalaman mengajar disini dapat menambah referensi ku untuk nanti mengajar anak-anakku dirumah, menjadi amal jariyah untukku, dan semoga kelak aku dapat membuka kelas belajar seperti yang aku lakukan disini. 

Pengalaman adalah kunci keberhasilan. 

Semakin banyak pengalaman maka akan semakin besar potensi untuk berhasil. 

Semangat untuk para guru.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top