Sewaktu kecil sering kali saya ditanya oleh orang tua, guru, maupun teman mengenai cita-cita saya kalau sudah besar nanti. Spontan kala itu saya menjawab ingin menjadi guru. Entah guru apa belum jelas. Yang penting menjadi guru. Mungkin di benak saya waktu itu, guru adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan.
Namun setelah mencoba terjun langsung ke dunia mengajar ternyata tidak semudah yang saya bayangkan menjadi guru itu tidak hanya sebatas menyampaikan materi tetapi menjadi guru itu harus menjadi seseorang yang bisa merubah, perubahan yang dilakukan menjadi lebih baik setelah melakukan pembelajaran.
Apalagi seorang pengajar Al-Qur’an, harus mempunyai ruh Al-Qur’an supaya ayat yang kita sampaikan kepada anak itu sampai kepada hati dan pikiran anak.
Tahun 2019 yang lalu saya pernah menjadi guru BTQ karena saat itu masa pengabdian dan mengabdinya itu dengan mengajar anak-anak kelas 1 SD, meskipun tidak ada keahlian dalam mengajar terpaksa saya mengajarkan yang saya bisa.
Hari demi hari kujalani, mengajarkan anak kelas 1 SD ternyata tidak semudah dan segampang yang saya bayangkan, karena usia segitu anak-anak suka bermain dengan teman-teman sebayanya apalagi saat di dalam kelas.
Saat gurunya menyampaikan materi anak-anak saat itu berbagai macam kondisi, ada yang aktif bertanya padahal belum saatnya bertanya, ada yang diam saja, ada yang bermain dan tidak menghiraukan sekitarnya, ada juga yang ngobrol bersama temannya. Memang tidak bisa menyalahkan anak-anak untuk kondisi seperti itu justru seorang pengajar haruslah memutar otak bagaimana caranya suasana dalam kelas itu menjadi efektif dan fokus terhadap seorang pengajarnya. Dengan dibuatkan nya jargon atau ice breaking kepada anak-anak ternyata mampu untuk fokus kepada pengajarnya walaupun itu tidak bertahan lama, tapi setidaknya tahu cara mengembalikan kefokusan anak tadi.
Setelah agak tenang suasana kelas mulailah untuk ngaji kedepan satu orang secara bergiliran, disitu ekspresi anak bermacam-macam ada yang suaranya pelan sampai tidak kedengaran, ada yang tidak mau bicara sama sekali sehingga harus dibujuk untuk ngomong dan disitulah ujian kesabaran saya untuk menghadapi anak, ada juga yang mandiri anak itu tanpa disuruh pun sudah inisiatif untuk memulai mengaji.
Mungkin yang diharapkan para pengajar semua anak bisa menjadi anak yang mandiri dan bisa menuruti perintah pengajarnya, lagi-lagi kita tidak bisa menyamaratakan kemampuan dan kondisi anak karena kita tidak tahu latar belakang keluarga dan pola mendidik di keluarganya seperti apa dan bagaimana. Dari sana saya belajar bagaimana cara menghadapi anak-anak yang modelan begitu, mungkin akan lebih paham dan mengerti jika tahu ilmu mengajar dan psikologis anak.
Menurut saya menjadi seorang pengajar itu adalah sebuah tantangan dimana engkau diminta untuk menjadi seorang ibu, sebelum engkau menjadi istri, diminta memahami psikologi anak padahal belum memiliki anak, diminta berbicara tentang mendidik anak kepada orang tua yang memiliki anak.
Dan tahun ini tepatnya di Huffaz Junior saya kembali lagi untuk dituntut bisa mengajar kembali, menurutku anak-anak disini tergolong anak-anak yang tidak aneh-aneh dan anak yang nurut sehingga tidak terlalu banyak mengeluarkan effort untuk mengurusi anak-anak, Alhamdulillah..hehe, apalagi disini mengajarnya tidak sendiri jadi lebih efektif dan lebih keperhatikan setiap anak.
Namun setiap mengajar pasti ada tantangan dan kewajiban yang harus ditunaikan contohnya di Huffaz Junior anak-anak harus menghafal surat Ar-Rahman.
Saat pengajar mulai men-talaqikan per ayat kepada anak ada yang cepat menangkap meskipun baru di ulang beberapa kali, ada juga yang butuh lebih banyak pengulangan. Meskipun kemampuan anak-anak berbeda-beda, namun saat usia segitu pelajaran yang diberikan pada anak usia dini akan lebih melekat dalam benak mereka sampai usia dewasa atau dalam istilah kata ‘’Belajar di waktu kecil bagai mengukir diatas batu, sedangkan belajar sesudah dewasa bagai melukis diatas air’’.