“Barang siapa ingin mati syahid, hendaklah ia menikah dengan Atikah binti Zaid.”
-Ali Bin Abi Thalib-
Atikah binti Zaid merupakan wanita agung yang ikut berbaiat dan hijrah. Parasnya menawan dan budi pekertinya yang indah turut memberi nilai tambah pada diri Atikah. Latar belakang keluarganya pun terdiri atas tokoh-tokoh ternama dalam Islam, hal ini menjadikan dirinya memiliki segudang keutamaan yang tak akan mampu diuraikan dengan kata-kata.
Ayahnya yang bernama Zaid bin Amr bin Nufail merupakan seorang laki-laki mulia yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan dibangkitkan pada hari kiamat seorang diri, sebagaimana ia pernah hidup dalam kesendirian dengan tauhid di tengah kesyirikan yang merajalela dan telah menjadi kelaziman dalam kehidupan masyarakat kota Mekah saat itu.
Kakak kandung Atikah bernama Sa’id bin Zaid, merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijanjikan surga. Paman Atikah, Al-‘Ala bin Al-Hadhramy merupakan salah satu sahabat pilihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus untuk membawa risalah Islam ke wilayah Bahrain. Bibinya yang bernama As-Sa’bah binti Al-Hadhramy adalah ibu dari Thalhah bin Ubaidillah, juga merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijanjikan surga.
Kala pertama Atikah menjadi seorang istri adalah pada saat ia menikah dari salah satu putra Abu Bakar As-Shiddiq, yaitu Abdullah bin Abu Bakar. Pernikahan mereka terjadi beberapa hari pasca hijrah ke Madinah.
Abdullah dan Atikah sangatlah lekat bak perangko dan amplop. Karena kelekatannya itulah, Abdullah hingga melalaikan kewajibannya kepada Allah swt., yaitu melewatkan waktu shalat berjamaah, dan tak ikut berpartisipasi dalam perang. Oleh karena itu, ayahnya memerintahkan Abdullah agar menceraikan Atikah.
Setelah bercerai, Abdullah sangat merana, rasa kehilangan membuatnya jatuh sakit. Hal ini menumbuhkan rasa tak tega pada hati Abu Bakar yang akhirnya mengizinkan putranya untuk rujuk kembali, dengan syarat jangan sampai rasa cintanya pada Atikah mengalahkan rasa cintanya pada Allah dan Rasul. Abdullah pun menyetujuinya dan kembali rujuk. Setelah berselang beberapa tahun, terjadilah Perang Thaif dan Abdullah turut berjihad di dalamnya. Pada perang itu, ia terkena anak panah dan darah terus mengalir dari lukanya hingga ia gugur sebagai syuhada.
Kesedihan Atikah setelah kematian suaminya, tak menjadikannya berdiam dalam keterpurukan.
Setelah berlalu masa ‘iddahnya, Atikah dilamar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat yang memiliki banyak keutamaan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Umar yang kemudian menjadi amirul mukminin menggantikan Abu Bakar As-Shiddiq sebagai khalifah kedua.
Di kehidupan rumah tangganya, Atikah banyak berperan dalam mendampingi suaminya untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai amirul mukminin. Umar yang mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih dan adil selalu menjadikan Atikah sebagai penasihat pribadinya dalam berbagai urusan. Bahkan Atikah tak pernah mengeluh atas sibuknya pekerjaan Umar. Ia sering ditinggalkan oleh Umar pada malam hari yang mencari tahu keadaan rakyatnya serta membantu para fakir miskin.
Atikah banyak mempelajari ilmu agama dari suaminya serta bercermin darinya tentang kezuhudan dan juga rasa kehati-hatian dalam perkara agama. Maka tak heran, dari wanita yang memadukan antara iman, ilmu dan akhlak inilah terlahir anak-anak Umar yang tumbuh menjadi pemuda sahabat dan calon ulama umat ini.
Tahun demi tahun berganti dan usia pun bertambah. Di akhir masa kekhalifahan Umar (23 H), sebuah musibah tiba-tiba datang menimpa keluarga Atikah. Bahkan musibah ini merupakan musibah bagi seluruh kaum muslimin. Sebab, musibah inilah pembuka pintu bagi musibah-musibah yang banyak menimpa kaum muslimin setelahnya.
Ialah kematian Umar, suami tercinta dan khalifah yang sangat dicintai oleh rakyatnya. Subuh itu, ketika mengimami shalat di Masjid Nabawi seorang laki-laki majusi yang menyamar sebagai seorang muslim menusuknya berkali-kali dengan pisau yang telah dilumuri racun mematikan. Tiga hari setelahnya, Umar pun menghadap rabbnya dalam keadaan syahid.
Kepedihan demi kepedihan telah berhasil membentuk kepribadian Atikah menjadi seorang wanita yang kokoh dan sabar. Ia sadar bahwa kematian suaminya merupakan takdir yang telah Allah gariskan untuknya.
Hari-hari berubah menjadi pekan, dan pekan berganti bulan. Setelah berakhir masa ‘iddahnya, Zubair bin ‘Awwam, yaitu hawari (teman setia) Rasulullah datang meminangnya. Setelah ia menerima lamaran tersebut, pernikahan pun dilaksanakan. Atikah dan suaminya hidup dalam keberkahan dan ketaatan.
Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang selalu mengikuti peperangan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Ia tak pernah takut mati di medan jihad. Bahkan kesyahidan merupakan cita-cita yang sangat ia rindukan. Zubair radhiyallahu ‘anhu termasuk dari sepuluh sahabat yang dijanjikan syahadah oleh Allah swt. melalui lisan Rasulnya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika itu, perang Jamal berkecamuk di antara para sahabat karena fitnah yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya. Zubair yang turut serta di dalamnya kemudian menyadari bahwa dirinya berada di pihak yang salah, ia pun bertaubat dan keluar dari kelompok yang bertikai. Hampir saja kedua pasukan berdamai, bahkan para pemimpin pasukan saling menginginkan keadaan kembali dalam keadaan ketika Rasulullah masih hidup.
Akan tetapi, rupanya hati orang-orang munafik tak menyukai jika perang ini diselesaikan dengan damai. Maka, salah satu pengikut Abdullah bin Saba’ yang bernama Amr bin Jurmuz menebaskan pedangnya pada tubuh Zubair ketika ia sedang bersujud dalam shalat dzuhur.
Ia mengira bahwa dengan berhasilnya ia membunuh Zubair maka ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang saat itu menjabat sebagai amirul mukminin akan merasa senang dan berterima kasih padanya. Sebab Zubair berada di pihak orang-orang yang memerangi amirul mukminin sebagai tuntutan agar ‘Ali menghukum para pembunuh khalifah ketiga, Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu Alih-alih merasa senang, justru ‘Ali marah besar pada sang pembunuh orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah tersebut. Dalam kemarahannya itu, ‘Ali mengatakan kepada para sahabatnya, “berilah pembunuh Zubair itu kabar gembira berupa neraka!”.
Kabar terbunuhnya Zubair tak terlalu mengguncang jiwa Atikah, sebab ia sudah mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari bahwa suami ketiganya juga akan gugur sebagai syahid seperti suami pertama dan keduanya.
Di pernikahan terakhirnya, ia menikah dengan cucu Rasulullah, yaitu Husein, putra Ali bin Abi Thalib. Awalnya, Ali sendiri yang ingin menikahinya. Tetapi, Atikah mengajukan syarat yaitu apabila hendak meminangnya, tidaklah suaminya kelak pergi berperang. Ali tak bisa menerima syarat itu.
Husein terpikat dengan budi pekerti Atikah yang luhur. Usia Atikah yang menginjak kepala lima dan terpaut jauh dengan Husein tidak menurunkan rasa saling mengasihi dan senantiasa harmonis. Mereka saling mencintai karena Allah. Namun takdir Allah tidak dapat ditolak, Husein bin Ali juga meninggal syahid di Karbala, Iraq. Maka untuk keempat kalinya, Atikah menjadi janda Syuhada.
Atikah kemudian memutuskan untuk tidak menikah lagi. Ia menolak lamaran dari Marwan dengan berkata, “Aku tidak ingin lagi mempunyai mertua setelah Rasulullah”. Atikah menyibukkan diri dengan mendidik anak-anaknya yang kelak akan meneruskan perjuangan para ayah mereka dalam menyebarkan agama Islam.
Itulah hidup Atikah. Wanita yang memiliki keindahan dalam paras dan perilakunya. Ia pintar, cantik dan juga mempunyai akhlak terpuji. Semua yang pernah menjadi suaminya selalu mati sebagai syuhada, meskipun mereka belum lama menjadi suami-istri, Hal ini membuktikan bahwa benar ketentuan Allah yang menyatakan bahwa hanya orang baik saja yang dipasangkan dengan orang baik.
Setelah melewati berbagai ujian kehidupan, akhirnya Atikah binti Zaid bin Amar bin Nufail menghembuskan nafas terakhirnya pada 41 Hijriyah. Tepatnya pada masa awal pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Jakarta, 10 September 2022
Abidah Nurul Fathiyah (@abidahnf)
References
Arifin, Z. (2019, August 20). Hikmah Pagi: Atikah ‘Adawiyyah Binti Zaid (W. 51 H), Sang Bidadari Para Syuhada (1). Bincang Syariah. Retrieved September 10, 2022, from https://bincangsyariah.com/khazanah/hikmah-pagi-atikah-adawiyyah-binti-zaid-w-51-h-sang-bidadari-para-syuhada-1/
Atiqah binti Zaid bin Amar bin Nufail, Kesabaran Istri Syuhada. (2016, December 23). Republika. Retrieved September 10, 2022, from https://www.republika.co.id/berita/oimm4635/atiqah-binti-zaid-bin-amar-bin-nufail-kesabaran-istri-syuhada
Badi` Shaqr, A. (2006). Wanita-Wanita Pilihan. Qisthi Press.
Channel, S. I. (2021, January 11). ATIKAH BINTI ZAID – ISTRINYA PARA SYUHADA. YouTube. Retrieved September 10, 2022, from https://www.youtube.com/watch?v=MPgM7sAbMDs
Fajriah, W. (2020, March 3). Kisah Atikah Wanita Agung dalam Sejarah Islam, Siapapun Meninggal Setelah Menikah Dengannya. Okezone Muslim. Retrieved September 10, 2022, from https://muslim.okezone.com/read/2020/03/03/614/2177228/kisah-atikah-wanita-agung-dalam-sejarah-islam-siapapun-meninggal-setelah-menikah-dengannya?page=2
Fathurrohman, M. N. (2014, August 27). Atika binti Zaid bin Amar bin Nufail – Istri Para Syuhada. BIOGRAFI TOKOH TERNAMA. Retrieved September 10, 2022, from https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/08/atika-binti-zaid-bin-amar-bin-nufail-istri-para-syuhada.html
Halal, S. (2022, September 1). Kisah Pilu Atikah Binti Zaid Shahabiyah Yang Bisa Menjadi Istri Para Syuhada. YouTube. Retrieved September 10, 2022, from https://www.youtube.com/watch?v=vE9RsF2Ykgc
Ikreem, R. (2020, February 9). Mengenal Atikah binti Zaid Radhiyallahu ‘anha, Istri Para Syuhada. Kompasiana.com. Retrieved September 10, 2022, from https://www.kompasiana.com/rohmahikreem/5e40211a097f3674b50e6ef2/mengenal-atikah-binti-zaid-radhiyallahu-anha-istri-para-syuhada?page=3&page_images=1
Islami, S. (2021, January 4). 4 Orang Suami ATIKAH BINTI ZAID Yang Syahid – Yang Terakhir HUSAIN CUCU NABI MUHAMMAD ﷺ #shahabiyah. YouTube. Retrieved September 10, 2022, from https://www.youtube.com/watch?v=ohGn1mlJ3Xs
Nashrullah, N. (2012, November 3). Atikah binti Zaid, Istri Para Syahid (3-habis). Republika. Retrieved September 10, 2022, from https://www.republika.co.id/berita/mcwtkw/atikah-binti-zaid-istri-para-syahid-3habis
Septyaningsih, L. (2019, June 14). Mengenal Atikah Binti Zaid, Istri Para Syuhada. Republika. Retrieved September 10, 2022, from https://www.republika.co.id/berita/pt2x1b313/mengenal-atikah-binti-zaid-istri-para-syuhada
Umma. (n.d.). Atikah binti Zaid: Aku Tidak Ingin Lagi Mempunyai Mertua Setelah Rasulullah. Umma.id. Retrieved September 10, 2022, from https://umma.id/post/atikah-binti-zaid-aku-tidak-ingin-lagi-mempunyai-mertua-setelah-rasulullah-188935?lang=id
Yusuf, A. (2020, September 17). Atikah, Sahabat Perempuan yang Dermawan dan Ahli Hadits | Republika Online. Sindikasi | Republika. Retrieved September 10, 2022, from https://sindikasi.republika.co.id/berita/qgt7nb320/atikah-sahabat-perempuan-yang-dermawan-dan-ahli-hadits