Angin berhembus keras, matahari mulai menampakkan sinarnya. Melalui warna keemasannya ia memancarkan keindahan yang hanya berputar selama sekian detik setiap harinya. Inilah sunrise. Biasa disebut dengan ‘golden time’ seperti waktu yang sangat berharga akan warna keemasan yang sangat menarik mata.
Begitulah keadaan yang selalu menjadi alasanku bersemangat menjalani hari demi hari.
Aku berusia 15 tahun dan sedang menduduki bangku kelas 1 SMA. Hobiku yaitu berpetualang, mataku selalu berbinar ketika membahas perjalanan demi perjalanan yang pernah dilalui. Bibirku mengembangkan senyum yang sangat lebar apabila telah sampai di tiap lokasi tujuan. Telingaku terpasang dengan baik ketika mendengar deru angin yang terus berhembus tanpa henti. Aku pernah mengunjungi deretan gunung yang ada di daerah Jawa Barat beserta teman komunitas pecinta alam, teman dalam ekstrakurikuler di sekolah maupun teman yang dikenal lewat dunia maya.
Tadi pagi, aku pergi ke salah satu puncak bukit di Bogor, Jawa Barat. Melihat keindahan matahari terbit yang tak pernah membuatku merasa bosan. Aku bersama teman komunitas Pecinta Alam Jawa Barat telah merencanakan perjalanan ini dari jauh-jauh hari. Persiapan semaksimal mungkin telah dilakukan. Kami memang sangat sering menjadwalkan kegiatan mendaki dari beberapa bulan sebelumnya. Aku pun sudah terbiasa dan mengikuti kegiatan ini.
Aku dan teman-temanku kemudian berkeliling mengitari bukit tersebut dengan perasaan gembira. Terasa kesejukan walau matahari terus menerus bergerak naik, menjulang tinggi ke atas kepala. Semua terasa indah. Kami merasa semua beban yang sebelumnya ada, baik dari pekerjaan, pendidikan, lingkungan tempat tinggal, atau berbagai jenis hal yang memberatkan hati seketika hilang, menguap dan terbang bersama angin yang berhembus kencang itu. Rasa sedih dan sendu yang ada ikut bersinar bersama cahaya matahari menerangi hati. Canda tawa terus terdengar dari berbagai sudut.
Beberapa jam berlalu, tak terasa inilah waktu untuk pulang, meninggalkan tempat ini. Keindahan yang dipotret dari kamera tidak dapat mendeskripsikan keindahan yang dirasa oleh mata yang kemudian turun menyejukkan hati. Kami pun mulai turun untuk meninggalkan gunung ini.
Namun, di hari yang sama, dalam waktu sesingkat itu, tak ada yang menyangka semuanya akan berubah, hingga berbalik 180 derajat dari sebelumnya. Siang itu, hal yang sangat membuatku bersemangat dan kegemaran terbesarku sekejap menjadi malapetaka yang sangat fatal. Aku terjatuh di pertengahan bukit, ketika melewati tanah yang licin dan curam. Aku luput memperhatikan jalan setapak, membuatku terguling-guling dan menabrak salah satu pohon besar yang menjulang tinggi. Kakiku membentur batu yang berada di sebelah pohon dengan sangat keras, terdengar suara tulangku yang bergeser karena benturan itu. Dalam riuh kepanikan teman-temanku yang menyaksikan kejadian tadi, aku terkulai lesu, tak berdaya dan semua gelap seketika.
—
Ada setitik cahaya, yang kemudian membesar dan terus membesar. Cahaya itu menyilaukan kedua mataku yang terpejam. Kucoba mengerjapkan mataku dan membukanya secara perlahan. Putih. Itulah suasana yang mencerminkan keadaan ruangku sekarang. Semua dibalut dengan warna putih, dengan aroma khas berbagai macam bahan herbal dan kimia yang dijadikan sebagai obat-obatan.
Aku mencoba berdeham, kurasakan kondisi mulutku yang kering dan kaku. Kepalaku terasa sangat pening, membuat lampu yang menggantung di atap seakan sedang berputar mengitariku. Sekujur tubuhku mati rasa, berbaring tak berdaya di atas ranjang. Kugerakkan jari tanganku perlahan demi perlahan. Rasanya sangat berat dan susah untuk dikendalikan.
Lima menit berlalu, kurasa keadaanku sedikit membaik. Dalam kurun waktu ini, aku mengingat kembali kejadian yang menimpaku sehingga menyebabkanku berakhir di ruang kosong ini. Ah, gunung itu. Memori terakhir yang sangat indah, namun jauh sangat menyakitkan jika diingat. Semakin mengingatnya, aku merasa ada yang berdenyutan di kaki sebelah kananku. Rasa denyut itu kemudian semakin menjalar seperti mengetahui aku akhirnya menyadari keberadaan luka tersebut.
Kakiku tertutupi oleh perban, sangat tebal hingga aku yakin kondisi yang ku alami sekarang akan berbeda dari yang sebelumnya. Aku meratapi nasibku kelak, yang pastinya, aku harus mengorbankan hobi yang telah ditekuni sejak masih belia.
Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamar, kemudian membukanya dengan perlahan. Terlihat wajah khawatir ibuku, memandangku dengan penuh syukur. Buliran keringat yang bercucuran melewati keningnya terlihat ketika ia datang menghampiri ranjangku.
“Alhamdulillah nak, akhirnya kamu bangun juga…” Ucapnya penuh haru. Dengan menahan rasa sakit, aku menoleh ke arahnya.
“Maaf ya, tadi ibu ke resepsionis dulu, ada beberapa dokumen yang perlu diurus.” Terusnya sembari duduk di atas kursi yang telah disediakan, tepat di samping tubuhku yang berbaring. Aku menggerakkan tanganku perlahan, berusaha meraih tangannya yang hangat. Ibuku mengerti dan segera menggenggam tanganku dan mengelusnya dengan penuh kasih sayang.
“Sabar ya, sayang.. Allah punya rencana yang ga disangka-sangka. Baru saja kemarin dokter memperkirakan kamu dapat bangun satu minggu lagi, karena pendarahan di kepalamu yang lumayan parah” Terusnya sambil terus mengelus tanganku dengan lembut.
Aku masih terdiam membisu. Tak ada hasrat apapun untuk menjawab perkataan ibu. Hati yang masih dilanda kesedihan ini membuatku tak dapat berpikir jernih. Aku membayangkan puncak dan alam yang tak akan menyapaku lagi, yang hanya akan berbekas dan tertinggal di belakang. Karena semua impianku telah runtuh.
“Semuanya sudah ada jalannya sayang… Ini cobaan dari Allah buat kamu. Allah mau tau, segimana sih usaha kamu dalam melewati cobaan Allah ini. Apakah kamu sabar dan bangkit kembali atau terus bersedih dan tidak beranjak dari tempat. Memang, wajar apabila bersedih.. Tapi jangan sampai melupakan sang Pencipta, yang telah memberikan banyak sekali rahmat kepada kamu, bahkan sebelum ini.”
Aku termenung, “Ta, tapi bu.. Gimana sama aktivitas aku selanjutnya? Aku pasti bakal susah buat masuk sekolah, ketemu teman-teman, main ke aneka rekreasi, bahkan..” Aku tak melanjutkan perkataanku. Mulutku menutup dan mataku kembali tergenang oleh air mata, hatiku sesak dan terasa penuh. Aku tak sanggup melanjutkannya. Yang satu ini terasa sangatlah berat. Padahal sebelumnya, ketika berbicara mengenai hal ini aku selalu bersemangat, tercurah limpahkan perhatianku padanya. Keadaan yang sekarang sangatlah berbeda dari sebelumnya.
“Bahkan, lanjutan dari hobi kamu, muncak dan kegiatan pecinta alam lainnya?” Tanya ibu, ia mengerti arah pembicaraan yang aku maksud. Aku hanya mengangguk dengan lemah, membenarkan tebakannya.
“Allah tau yang terbaik sayang, sesuai dengan kalamnya dalam surat Al-Baqarah, ayat 286.. Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.. Kamu udah pernah belajar itu kan?” Tanyanya
Aku mengangguk. Aku memang pernah mempelajarinya di rumah, aku dan keluarga selalu mengaji bersama setelah melaksanakan sholat maghrib. Kami membaca artinya dan membahas lebih dalam mengenai bacaan ayat yang telah dibaca tersebut.
“Nah, berarti kamu yakin kan, Allah itu tau kamu bisa melewatinya. Ini cobaan kecil yang mungkin bisa jadi lompatan buat kamu menjadi orang yang lebih baik lagi kedepannya. Mungkin sekarang kamu kehilangan kemampuan kamu buat jalan, tapi siapa tau kamulah yang bisa menciptakan alat untuk membantu orang lain yang sepertimu..”
Hatiku bergetar, segala kehangatan yang disalurkan ibu melalui ucapannya mulai terasa dalam jiwa. Aku merasa sedih karena tadi telah menganggap ini adalah akhir dari segalanya.
“Iya ya, bu.. Aku ga boleh ngerasa gagal dan menyerah hanya karena cobaan ini. Kaki aku yang lumpuh ini pasti punya titik baiknya..” Aku terdiam sejenak, memikirkan orang lain yang telah ditimpa ujian sepertiku, bahkan lebih berat dan telah lama “Ya Allah.. Maafkan hamba yang tidak bersyukur atas segala rahmat yang telah engkau limpahkan pada hamba..”
Matahari mulai menampakkan sinarnya secara perlahan, setelah sekian lama bersembunyi di balik gelapnya malam. Fajar itu, merupakan awal dari segalanya. Aku teringat perkataan ibu malam kemarin. Aku harus bangkit dari keterpurukan ini. Memang tidak mudah, bahkan aku harus mulai membiasakan diri untuk menggunakan tongkat dalam setiap langkah yang akan ditapaki. Tapi rintangan demi rintangan inilah yang akan membentukku ke depannya. Aku masih memiliki banyak sekali perjalanan yang harus dilalui. Semua yang terjadi telah tertulis oleh Allah dalam lauhul mahfuzh-Nya.
Jakarta, 25 September 2022
Abidah Nurul Fathiyah (@abidahnf)