Tentang Niat, Kejujuran, Tujuan dan Tantangan

Bismillah

Ini adalah tulisan yang dibuat pada pekan ke-3 dalam karantina program TESH (Tahfizh Entrepreneur Scholarship) oleh Hafizhah Pengusaha. Selengkapnya tentang program dan profil Hafizhah Pengusaha bisa kita baca di blog ini.

Bagi saya sendiri, TESH adalah upaya pembiasaan diri dan memperbaiki diri (Biidznillah). Misalnya dalam membiasakan tertib menulis, supaya kemampuan menulis terasah dan menjadi lebih baik. Alhamdulillah, terimakasih kepada Hafizhah Pengusaha yang sudah merancang dan memfasilitasi program ini, atas izin Allah.

Kali ini para penerima manfaat TESH diberi tugas untuk menulis tanpa tema tertentu, tidak seperti pekan sebelumnya yang diberikan tema khusus. Namun, tulisan masih harus berkaitan dengan kegiatan selama berada di karantina TESH. Kali ini, saya akan menulis tentang niat, kejujuran, tujuan dan tantangan.

Niat

Dalam beberapa kitab kumpulan hadits yang disusun oleh para Ulama, pembahasan hadits tentang niat berada pada urutan pertama. Misalnya dalam kitab Shahih Bukhari yang disusun oleh Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (Imam Bukhari), kitab Arba’in An-Nawawiyah yang disusun oleh Imam Nawawi, dan bahkan dalam kitab tentang adab Riyadhus Shalihin yang disusun oleh Imam Nawawi hadits tentang niat menempati peringkat pertama di antara sekian banyak hadits.

Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya perkara niat. Sebelumnya, niat itu letaknya di hati. Saya mohon untuk belajar lebih lanjut tentang hal ini, karena sungguh bukan kapasitas saya untuk menjelaskannya.

Contoh yang paling saya ingat tentang urgensi hal ini adalah perbedaan tidur siang biasa dengan tidur yang bernilai ibadah (qailullah) adalah niat. Perbedaan shalat dua rakaat yang wajib dan sunnah setelah adzan subuh adalah niat. Secara teknis keduanya sama, namun nilainya bisa berbeda karena niat.

Kejujuran

Saya pernah menyimak kajian kitab Tadzkiratus Saami wal mutakallim Fii Adabil’Alim Wal Muta’alim karya Ibnul Jama’ah yang dibawakan oleh Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah di Mall Blok M. Dalam kajian tersebut, Ustadz menyebutkan, “Maka jujurlah kepada Allah”. Pernah juga dikatakan bahwa apabila kita berdoa dan jujur dalam doa tersebut kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan doa kita.

Awalnya saya tidak paham, mau jujur bagaimana lagi kepada Allah ya? Tanpa kita katakan pun Allah sudah tau, baik yang zhahir maupun batin. Saya pikir manusia tidak bisa berbohong kepada Allah. Kalau ke manusia lain, tentu saja mungkin. Tapi kepada Allah Al Alim, As Sami’, Al Bashir?

Mengejutkan bahwa ternyata tanpa kita sadari, kita telah sering berbohong kepada Allah. Kita mengaku Islam. Kita bertakbir dalam setiap sholat, mengatakan bahwa Allah-lah yang Maha Besar. Kita bersyahadat dalam setiap sholat yaitu bersaksi bahwa tidak ada illah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Tapi kenyataannya?

Menyedihkan bahwa ternyata kenyataannya kita sering tidak menempatkan Allah di atas segalanya, kita tidak memaknai takbir dalam sholat kita. Kita lebih taat pada peraturan manusia daripada Allah, lebih menspesialkan manusia daripada Allah, lebih merujuk peraturan manusia daripada syariat Allah yang dibawa oleh Muhammad shallallahu alaihi wasallam utusan-Nya. Lalu apa makna syahadat dalam sholat kita?

Adapun yang dimaksud dengan jujur dalam berdo’a kepada Allah adalah dalam hal menyelaraskan harapan dan usaha meraih harapan. Kita bisa dikatakan berbohong dalam berdoa kepada Allah apabila kita berharap kebahagiaan dunia dan akhirat (dalam doa Sapu Jagat) namun tidak mengusahakan harapan tersebut.

Tujuan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tujuan adalah arah, haluan (jurusan), yang dituju, maksud, dan tuntutan (yang dituntut). Meskipun artinya telah jelas, namun terkadang hakikat substansinya kurang bisa dipahami.

Adanya syariat/hukum, mengandung tujuan tertentu. Dengan seperangkat syariat Islam, Allah melindungi agama, jiwa, pikiran, harta dan keturunan manusia. Hal ini hanya bisa dipahami dengan belajar dan beriman.

Tantangan

Pada paragraf ini, saya akan mulai menghubungkan serangkaian pembahasan sebelumnya di atas. Dalam rangka mencapai tujuan tertentu, kita berhadapan dengan niat, kejujuran dan tantangan. Sudah luruskah niat kita? Sudah jujurkah kita? Pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab saat kita diperhadapkan dengan tantangan berupa kesulitan-kesulitan dalam mencapai suatu tujuan.

Dalam hal ini, ketika harus menjadi representasi “hafizhah pengusaha” misalnya. Benarkah hafalan kita untuk keridhaan Allah? Benarkah kita jujur sebagai seorang muslimah? Benarkah kegiatan bisnis yang kita lakukan untuk kemaslahatan bersama dan demi meraih ridha Allah?

Tidak mudah menjadi muslimah, hamba Allah yang taat dan melakukan segalanya dengan tujuan dan cara yang diridhai Allah. Membiasakan diri pada aktivitas tertib belajar, menghafal, memahami, berusaha mengajarkan dan mengamalkan ilmu dan Al-Qur’an. Melatih diri untuk menjadi lebih baik. Berada di asrama selama beberapa waktu, tanpa gadget dan membatasi interaksi pribadi dengan keluarga dan teman, tentu tidak mudah. 

Belum lagi kerinduan pada rumah, keluarga, teman dan aktivitas hobinya. Itulah diantara tantangan yang dapat menjadi ujian kejujuran bagi kita.

Ketika lelah, marah dan ingin menangis karena tidak kunjung hafal ayat yang sudah kita ulang beratus-ratus kali, kita perlu menilik kembali beberapa hal. Apakah benar kita menghafal demi Allah, atau kepuasan diri? Apakah kita jujur sehingga mampu bersabar dalam belajar? Seharusnya kalau sesuatu itu dilakukan demi Allah, maka tidak akan ada perasaan marah dan lelah.

Atau bisa jadi ada dosa yang belum terampuni hingga kita belum bisa lulus ujian. Inilah saatnya kita bermuhasabah dan meluruskan niat hanya kepada Allah.

Seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Mu’adz bin Jabal berkata, “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari ilmu adalah suatu ibadah. Saling mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya adalah suatu qurbah (taqarrub, mendekatkan diri pada Allah).”

Untuk sesuatu yang sangat bernilai tentulah harus ditukar dengan yang sangat bernilai juga. Jadi wajar kalau belajar itu butuh kesabaran. Pun para ulama sudah mengingatkan bahwa menghafal membutuhkan kesabaran, memahami membutuhkan kesabaran, menghadiri majelis ilmu membutuhkan kesabaran, demikian pula menjaga haq seorang guru membutuhkan kesabaran.

Berkata Yahya ibnu Abi Katsiirin:

لا يُسْتَطَاعُ العلمَ بِرَاحَةِ الجِسْم

“Tidak didapatkan ilmu dengan badan yang berleha-leha”

Demikian pula menyampaikan dan mengajarkan perlu kesabaran, duduk bersama para penuntut ilmu perlu kesabaran, memahamkan mereka perlu kesabaran, serta menghadapi kesalahan-kesalahan mereka perlu kesabaran.

Oleh karena itu, kata Syaikh Dr. Shalih bin Abdillah bin Hamd Al-‘Ushoimiy hafizhahullah di dalam Muqaddimah kitab Khulashah Ta’zhimil ‘Ilmi, kita harus mengumpulkan tekad untuk menuntut ilmu dan meminta pertolongan kepada Allah, serta jangan merasa lemah. 

Sebagaimana dalam hadits:

احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز

Hendaklah engkau semangat melakukan apa yang bermanfaat untuk dirimu dan memohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah engkau merasa lemah. (HR. Muslim)

Wallahu ‘alam

Jakarta, 19 Agustus 2022

Peserta Hafizhah Pengusaha Batch 3

Annisa Senja Rucita (rucitasenja)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top