Tak jarang dalam membuat keputusan apakah akan “membeli” sesuatu atau tidak, sebagian orang memperhatikan siapa brand ambassador atau representasi dari sesuatu tersebut. Jika setelah diteliti orang tersebut mencerminkan terpenuhinya harapan kita ketika menggunakan sesuatu tersebut, maka tidak menutup kemungkinan kita akan menjadi pelanggan setia yang bahkan merekomendasikan sesuatu itu kepada orang di sekitar kita.
Seorang brand ambassador, selain mencerminkan tercapainya tujuan penggunaan produk (baik barang maupun jasa) juga memiliki kriteria tertentu yang membuat ia terpilih sebagai BA. Dilansir dari laman Skill Academy by Ruangguru, brand ambassador adalah orang yang mewakili dan mempromosikan suatu suatu brand/produk dengan mendukungnya dalam bentuk aktivitas yang sesuai dengan identitas perusahaan. Pada dasarnya brand ambassador bertujuan untuk membuat masyarakat semakin mengenali sebuah produk atau brand.
Umumnya yang diminta untuk menjadi brand ambassador adalah para selebriti, influencer, atau individu yang telah diakui kemampuannya sebagai seorang profesional di suatu bidang. Idealnya orang tersebut harus sesuai dengan identitas dari perusahaan yang akan dipromosikannya. Sehingga nantinya berbagai aktivitas dan kampanye yang dilakukan oleh brand ambassador tersebut sesuai dengan identitas dari perusahaan tersebut.
Jika Dakwah adalah Marketing, maka Da’i adalah Brand Ambassador
Jika dunia dakwah diibaratkan dengan dunia marketing, maka kita akan memperoleh analogi sebagai berikut:
Allah adalah pemilik suara yang mutlak dalam perusahaan.
Islam dan segala hikmahnya adalah objek marketing.
Manusia adalah subjek marketing.
Dai adalah brand ambassador atau wali Allah.
Dalam hal ini, da’i atau representasi dakwah Islam adalah guru yang diambil ilmunya. Jika dalam dunia marketing (dan marketing dunia) pemilihan brand ambassador oleh manusia, makhluk yang selalu punya kekurangan saja tidak dilakukan secara asal-asalan, apalagi dalam dunia dakwah alias marketing akhirat yang pemilihan brand ambassador-nya dilakukan oleh Tuhan, Allah dzat yang Al Alim Al Khaliq Al Malik. Allah tidak mungkin salah dalam memilih wali-Nya, Maha Suci Allah dari prasangka demikian.
Orang yang berinteraksi dengan kalam Allah (Al-Qur’an), hadits Nabi, dan sirah generasi terbaik pasti terlihat lebih dewasa dan bijaksana. Sekalipun usia seorang penuntut ilmu terbilang masih remaja, namun jika akrab dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam niscaya terlihat perubahan sikapnya. Bagaimana tidak? Lha wong, beliau telah berinteraksi dengan sosok orang dewasa yang terbaik yang Allah pilih sebagai penerima mukjizat Al-Quran.
Jadi apa mungkin seorang da’i yang gemar menebar ujaran kebencian dan senang berkelakar mengolok da’i lainnya merupakan brand ambassador dakwah Islam pilihan Allah? Yakin da’i yang demikian adalah brand ambassador dakwah Islam yang patut diteladani dan diambil ilmunya?
Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. ketika ditanya tentang cara memilih guru untuk diambil ilmunya, beliau menjawab:
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala ahlihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.
Cara memilih guru dalam belajar agama atau memilih seorang ustadz untuk diambil ilmunya adalah dengan memperhatikan tiga hal:
- Aqidah dan manhajnya lurus, sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
- Ilmunya mendalam, layak, dan kompeten untuk mengajarkan ilmu. Bukan orang jahil atau ruwaibidhah, yang bicara masalah agama tanpa ilmu.
- Akhlaknya baik.
Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah mengatakan:
كَانُوا إِذَا أَتَوْا الرَّجُلَ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ، نَظَرُوا إِلَى هديه، وَإِلَى سَمْتِهِ، وَ صلاته, ثم أخذوا عنه
“Para salaf dahulu jika mendatangi seseorang untuk diambil ilmunya, mereka memperhatikan dulu bagaimana aqidahnya, bagaimana akhlaknya, bagaimana shalatnya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya” (HR. ad-Darimi dalam Sunan-nya, no.434)
Imam Malik rahimahullah berkata:
لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ
“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang: (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa‘ (ahlul bid’ah) yang mengajak agar mengikuti hawa (kebid’ahan), (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadis yang dia sampaikan” (At-Tamhid, karya Ibnu Abdil Barr, 1/66).
Maka hendaknya (kita) memperhatikan 3 kriteria di atas dan mewaspadai 4 jenis orang yang disebutkan Imam Malik ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan: “Saya sarankan kepada para penuntut ilmu untuk memilih guru yang dipercaya ilmunya, terpercaya amalnya, terpercaya agamanya, lurus aqidahnya, lurus manhajnya. Jika ia diberi taufik untuk belajar kepada guru yang lurus, maka ia juga akan lurus. Namun jika Allah tidak memberi taufik demikian, maka ia juga akan menyimpang sebagaimana gurunya” (Majmu’ al-Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 26/40).
Hendaknya kita tidak tertipu oleh kepiawaian seseorang dalam berbicara, padahal kosong dari 3 kriteria di atas. Orang yang piawai bicara, bahasanya fasih dan menyihir, serta kata-katanya indah, belum tentu orang yang layak diambil ilmunya. Bahkan dalam hadis dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن أخوف ما أخاف على أمتي كل منافق عليم اللسان
“Yang paling aku takutkan terhadap umatku adalah setiap orang munafik yang pintar berbicara” (HR. Ahmad [1/22], dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no.1013)
Maka kepandaian berbicara bukanlah ukuran. Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan: “Wajib bagi Anda wahai kaum Muslimin dan para penuntut ilmu agama, untuk bersungguh-sungguh dalam tatsabbut (cek dan ricek) dan jangan tergesa-gesa dalam menanggapi setiap perkataan yang anda dengar (dalam masalah agama). Dan hendaknya mencari tahu:
- Siapa yang mengatakannya?
- Dari mana datangnya pemikiran tersebut?
- Apa landasannya?
- Adakah dalilnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah?
- Orang yang mengatakannya belajar di mana?
- Dari siapa dia mengambil ilmu (siapa gurunya)?
Maka tidak semua orang yang berkata-kata dalam masalah agama itu langsung diterima walaupun bahasanya fasih, sangat bagus ungkapannya, dan sangat menggugah. Jangan tertipu dengannya hingga Anda mengetahui kadar keilmuan dan fiqihnya” (Ithaful Qari bit Ta’liqat ‘ala Syarhis Sunnah, hal.85).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Mishri mengatakan: “Carilah guru yang memiliki kedudukan yang mulia, memiliki takwa, memiliki akhlak yang indah, memiliki pikiran yang jernih, yang ia telah lama dalam menelaah ilmu-ilmu, dan ia senantiasa bersama dengan para masyaikh yang tsiqah (terpercaya) di zamannya dalam pembahasan-pembahasan ilmu dan dalam kebersamaan” (Mukhtashar al-Mu’lim, 72-73).
Demikian kriteria-kriteria dalam memilih guru dalam menuntut ilmu agama. Andaikan seseorang merasa bingung tentang seorang ulama atau seorang ustadz, apakah ia termasuk yang layak diambil ilmunya ataukah tidak, maka hendaknya ia bertanya kepada ulama atau ustadz yang dipercaya keilmuannya tentang orang tersebut.
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepala ahludz dzikr (ahli ilmu) jika engkau tidak mengetahui” (QS. al-Anbiya: 7).
Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.”
Demikian selesai penukilan. Jadi jangan salah menilai brand ambassador. Teliti kembali apakah seorang da’i tertentu adalah benar-benar juru marketing dakwah Islam pilihan Allah Al Hakim.
Jakarta, 3 September 2022
Annisa Senja Rucita (rucitasenja)