MENGGAPAI KEMULIAAN INDONESIA DENGAN TAHAJJUD

Mulia, adalah satu kata yang menjadi incaran seluruh makhluk di alam semesta. Seluruh makhluk berlomba menggapainya, baik dengan jalan yang mulia ataupun jalan hina yang menurut kacamata mereka adalah mulia. Sebut saja kisah perlombaan untuk mendapat gelar mulia yang telah ada ketika awal penciptaan manusia, yakni saat syaitan mempertahankan kemuliaannya yang tercipta dari api saat mereka diperintahkan oleh Allah untuk menyembah Adam yang tercipta dari tanah. Kala itu gelapnya kacamata syaitan yang tertutupi oleh kesombongan telah menghalangi cahaya Allah yang sedang mendidiknya untuk meletakan kemuliaan pada tempatnya, yakni tempat kemuliaan adalah di saat makhluk mengikuti petunjuk jalan dari Allah Yang Maha Tinggi, dan Yang Maha Agung, serta Yang Maha Terpuji.

Kemuliaan adalah hal yang definitif, bukan relatif. Di dunia, kita dapat mendefinisikan mulia dengan penyandingan manusia pada harta dan tahta duniawi, yang akan terputus kemuliaannya ketika manusia tidak lagi dapat menghembuskan nafas di muka bumi. Sedangkan di akhirat, Allah mendefinisikan kemuliaan dengan harta dan tahta surgawi yang penyandangnya dapat menikmati kemuliaan tersebut selama-lamanya, never ending glory. Harta dan tahta duniawi sangat terbatas dan akan habis seiring berkurangnya sumber daya dan bertambahnya usia. Namun, harta surgawi tidak akan pernah habis, apapun Allah berikan untuk para penghuni surga, sebanyak apapun yang kita inginkan. Tahta surgawi juga telah Allah siapkan bertingkat-tingkat bagi penghuninya, Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya ahli surga itu saling melihat antar kamar dan atasnya, sebagaimana saling memandangnya bintang-bintang yang beredar dan yang tetap di ufuk timur atau barat karena di antara mereka saling memiliki kelebihan.” (HR. Bukhari)

Setiap orang ingin menjadi yang terbaik dan mendapatkan yang terbaik untuk dirinya. Kita sudah berkompetisi dan menjadi yang terbaik sejak dalam kandungan, yakni ketika kita menjadi pemenang dari berjuta sel sperma yang membuahi ovum namun hanya satu yang dapat melanjutkan perjalanannya untuk dilahirkan ke muka bumi. Demikianlah seharusnya fitrah manusiawi yang harus terus dijaga, fitrah untuk menjadi dan memberikan yang terbaik bagi diri kita di kehidupan dunia dan akhirat. Ya, harus keduanya, kita harus meraih kemenangan dunia yang juga mendapatkan kemenangan di akhirat, meraih kemuliaan di dunia untuk kemuliaan di akhirat. Namun, kita harus menjadikan kisah syaitan yang keliru dalam menggunakan kacamata kemuliaan, bahwa kemuliaan hanya dapat ditempuh melalui jalan dari pemilik kemuliaan tersebut, yakni jalan Illahi, jalan untuk menjadi hamba Allah Yang Maha Mulia.

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 63-64)

Sayyid Qutb menjelaskan tafsir ayat tersebut, “Mereka adalah sekelompok orang yang meninggalkan tidur yang menyenangkan dan memilih sesuatu yang lebih nikmat, yaitu sibuk menghadapkan diri kepada Tuhannya. Ketika manusia pada umumnya sedang tidur, mereka bangun untuk bersujud. Manusia pada umumnya masih berada di bumi, sedangkan mereka telah naik ke ‘Arsy Tuhan Yang Maha Pengasih, pemilik keagungan dan kemuliaan”. (Tafsir Fii Zhilalil Qur’an III: 55)

Al-Ahnaf bin Qais mengatakan, “Aku pernah menyangka bahwa amal ibadahku telah menyamain amal para penghuni surga. Ternyata, ada kelompok yang jauh melebihi amalku. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. (Tafsir Al-Qurtubi XVII: 27)
Al-Qasimi dalam Mahasin At-Ta’wil menegaskan, “Inilah perjalanan orang mulia yang selalu memperbanyak amal mulia dengan sekuat tenaga, selalu menganggap sedikit ibadah yang telah dilakukannya dan pada akhirnya ia enggan berlambat-lambat. Sedangkan orang yang hina hanya sedikit sekali mengerjakan amal tersebut dan dia menganggapp amalnya sudah terlalu banyak serta menyebut-nyebut amalnya itu.”

Ali bin Abi Thalib ra. Mengingatkan kita, “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang seakan bisa melihat penghuni surga yang kekal di dalamnya dan para penghuni neraka yang disiksa di dalamnya. Ketika malam tiba, kedua kaki mereka sejajarkan sedangkan air mata mengalir di pipi, mereka pun memohon kepada Allah untuk bisa dekat denganNya. Ketika siang hari, mereka menjadi ulama yang santun, saleh, dan bertakwa. Mereka seperti bunga yang belum merekah. Orang yang melihat mereka mengatakan. ‘Ia orang sakit’. Padahal, sebenarnya mereka tidak sakit.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah VIII: 7)

Umar bin Dzur berkata, “Mereka menyambut malam dengan tubuh mereka dan mengusapi tanah dengan sisi wajah mereka. Ketika malam telah lewat, mereka belum selesai menikmati bacaan Al-Qur’an. Tubuh mereka tidak bosan meski berlama-lama mengerjakan ibadah.”(Al-Maqrizi, Mukhtashar Qiyam Al-Lail)

Kata ‘mereka’ adalah subjek plural yang menunjukkan beberapa atau bahkan banyak orang yang melakukan suatu pekerjaan. Dari segala janji kemuliaan yang Allah berikan tersebut, tak ada lagi keraguan yang tersisa, hanya tekad dan kesungguhan yang diperlukan untuk menempuh jalan kemuliaan ini. Kita mulai dari diri kita untuk menggapainya. Jikalau masih terasa berat untuk menapaki jalannya, percayalah bahwa ketika kita melangkah bersama maka setiap kebaikan akan lebih mudah. Kita dapat menempuh jalan ini bersama, dengan saling mengingatkan dan mengajak sebanyak-banyaknya sanak keluarga, teman, masyarakat, bahkan seluruh manusia penghuni bumi. Tidak ada dalam sejarah ditemukan kisah seorang derwaman yang selalu memberi dan berbagi akan jatuh dalam kemiskinan, justru ketika kita banyak menerbakan manfaat sejatinya sebanyak itu pula kelak kita akan menuai manfaatnya untuk diri kita sendiri.

Tidak lagi yang perlu kita tunggu. Mari kita merdekakan diri dan negeri dengan melangitkan amal ibadah kita. Lakukan apapun upaya yang dapat kita perbuat dalam ber-amar ma’ruf. Raihlah kemuliaan Indonesia dengan tangan kita, jika tak mampu maka dengan lisan kita, jika tetap tak mampu maka dengan hati kita. Semoga Allah mengangkat Indonesia ke tempat yang terpuji dengan amalan rakyat penduduk tanah airnya.

“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra: 79)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top