SI BUKU KUNING DAN PAMAN LA TAHZAN

Dari rak berdebu tempat ku berdiam yang langsung mengarah ke jendela toko ini, aku melihat awan bergumpal-gumpal kelabu. Lalu tak lama, ribuan air berjatuhan menyerbu bumi. Satu dua orang memasuki toko ini, lalu beberapa orang lain sibuk menghindari hujan di selasar-selasar toko. Hiruk pikuk mereka bergegas menghindari hujan tertutup suara serbuan air yang terus menderas. Aku bersyukur atas rahmat Allah yang agung ini. Dalam riuh hujan ada gema dzikir yang bergaung bersahutan dengan suara hewan lainnya. Aku menyukai simponi? ini. Sangat damai dan menenangkan hati. Sejenak keresahanku sebagai buku yang belum terjual diantara teman-teman ku, teredam riuh hujan yang menghujani atap toko ini.

“Hei nak, lagi-lagi kau bersedih dan merenung seperti itu?, lihatlah aku ini, umurku di toko ini lebih lama darimu, dan aku tak pernah bersedih sama sekali seperti itu”. Paman La tahzan yang berada beberapa jarak di kananku berseru membuyarkan lamunanku. “Tidak Paman, aku tidak bersedih karena belum laku. Aku sedang bersyukur dan menikmati hujan yang penuh rahmat ini”. ujarku membalas seruannya. “Ya, kau benar, kita memang harus selalu bersyukur atas segala rahmat-Nya. Yang terpenting kau tidak bersedih atas nasibmu yang belum berakhir di tangan atau rak buku di rumah seseorang. Nak, apa kau menyesal menjadi salah satu buku yang terlaris tapi hanya kau sendiri yang belum laku sama sekali?!”. kembali paman La tahzan berseru kepadaku. Aku berpikir kembali tentang pertanyaannya. Aku sama sekali tidak pernah menyesal menjadi buku yang banyak memberi manfaat pada manusia. Namun, sudah puluhan kali teman-teman baruku datang dan pergi, namun aku masih menjadi satu-satunya buku yang tidak pernah menjadi pilihan mereka untuk dibeli dan dibawa pergi. Padahal, setiap manusia yang tertarik membeli teman-temanku, aku selalu yang pertama kali mereka ambil dan membolak-balik halamanku dengan antusiasnya. Setelah mereka rasa cukup untuk membaca halaman demi halamanku dengan cepat, mereka langsung meletakkan aku dan menyambar temanku yang lain yang masih terbungkus cantik dengan plastik, untuk mereka bawa kemeja berwarna biru di ujung toko, untuk kemudian dibawa pergi dari toko ini.

‘Ah meja biru itu, kapan aku bisa berada di atas meja itu dengan melihat dari dekat bagaimana cucu dari pemilik toko ini bersenandung riang dengan ayat AlQuran’.

“HEI NAK!. NAK!..HEI BUKU KUNING!..” teriakan Paman La tahzan membuyarkan kesibukanku berbicara dengan diri sendiri“. ya paman, aku mendengarmu” jawabku seadanya. “Kau lagi-lagi melamun?!, padahal halaman-halaman bukumu belum ada yang terlepas dari tempatnya?” ujarnya lagi-lagi dengan suara yang keras, padahal hujan sudah mulai berhenti. “Aku sedang memikirkan pertanyaanmu paman. Aku tidak menyesal sama sekali menjadi buku ini. Aku hanya kesal, kenapa tak ada yang memilihku untuk mereka beli. Padahal aku selalu mereka ambil pertama kali, dan mereka pakai pertama kali. Tapi mereka selalu membawa teman-temanku untuk mereka beli, dan bukan aku. Apakah karena halamanku yang sudah terlipat-lipat dan jelek, atau karena aku yang sudah tidak terlihat baru dan tidak terbungkus plastik dengan cantik seperti teman-temanku yang lain?!”. Jawabku sendu. Aku kembali merasa muram dan sedih padahal beberapa menit yang lalu suara hujan membuatku merasa nyaman dan damai.

“Jangan membuat nada memelas seperti itu jika berbicara denganku. Kau mau menunjukkan kesedihanmu pada dunia?!. Asal kau tahu nak, meski dunia tahu kau akan bersedih seperti itu ribuan tahun kedepan pun, tak akan ada yang berubah dari alam semesta karena sebab kesedihan dan kegundahanmu. Yang ada kau hanya semakin menghancurkan dirimu sendiri setiap harinya, dan hati-hati dari sifat kufur yang akan menjangkitimu. Sekarang aku minta, kau jangan menyesali nasibmu, sebagai gantinya akan aku jawab pertanyaanmu, bagaimana?!”. Ujar paman menyadarkanku.

“Baik paman, aku setuju” ujarku dengan antusias. “Pertama, apa kau sudah tau, apa tujuanmu menjadi sebuah buku yang berisi kamus Al Qur’an, dan kenapa takdirmu hingga saat ini, terus berada diatas rak”. paman malah bertanya kepadaku, alih-alih menjawab pertanyaanku. “Tujuanku, agar bisa dibaca dan dipelajari manusia yang membutuhkanku dan agar menuai pahala untuknya yang membacaku untuk mempelajari AlQuran yang mulia”. Ujarku menjawab pertanyaannya.

“Bagus, tentang takdirmu yang terus berada di atas rak buku, kenapa kau kesal?, padahal kau masih bermanfaat bagi manusia?!” paman terus mencecarku dengan pertanyaan. “Entahlah paman, mungkin aku iri dengan teman-temanku yang sudah diambil dan dimiliki manusia, namun, aku masih terduduk di rak berdebu ini. Atau aku yang ingin sekali berada diatas meja biru untuk melihat cucu pemilik toko kita berceloteh riang melafalkan AlQuran sebelum akhirnya dibawa pergi dari toko ini, atau aku ingin menjadi buku yang sering dibaca dan bermanfaat bagi seseorang”. Jawabku sekenanya. Bahkan aku pun mulai meragu kenapa aku bersedih dan kesal selama ini.

“Kau yang sedih dan kesal, kenapa kau yang meragukan kekesalan dan kesedihanmu sendiri?!. Hei nak, jujurlah dengan dirimu sendiri. Apa tujuanmu, apa yang kau inginkan, kenapa kau tak menikmati takdir yang Allah berikan, dan bersyukur atas segala kebaikan yang Allah beri atasmu?!”. Sejenak penghuni rak kami dan rak-rak lainnya mulai menyimak percakapan kami yang berisik. Sepertinya paman berniat tidak hanya menasihatiku, namun juga seluruh penghuni rak yang terus mengeluh bosan dan khawatir akan berakhir di gudang karena tempatnya diambil alih oleh buku baru yang lebih banyak dibeli manusia.

“Sekarang ini, kau sedang menjalankan tugasmu sebagai buku yang bermanfaat nak. Sebab kehadiranmu sebagai buku yang sudah terbuka bungkusnya, kau menjadi jalan bagi teman-temanmu untuk menjalankan tugasnya dengan benar sebagai bacaan yang dipelajari manusia. Kau juga menjalankan tugasmu sebagai buku bacaan, karena setiap orang yang datang dan tertarik dengan isi dari buku kamus Al Quran, pertama kali membacamu, ada yang hanya melihat dan membaca halaman-halamanmu sekilas, ada yang membaca serius, dengan hanya memilih beberapa halaman saja, ada yang berulang kali datang untuk membaca sampai tuntas, karena tak mampu membeli dan memiliki buku-buku penting sepertimu. Lihatlah berapa banyak orang yang membacamu. Tidak hanya satu orang, tapi puluhan. Tak hanya satu kalangan saja, tapi semua kalangan dari semua umur telah membolak-balik dan membaca halaman-halamanmu. Kau hanya tinggal terus menjalankan tugasmu, dan nikmati alur takdirmu yang menjadi sebuah buku bermanfaat sampai akhir, sambil berdzikir, dan bersyukur. Memang tugas kita sebagai buku adalah untuk dibaca dan dipelajari manusia. Urusan bagaimana, di mana, dan dibaca oleh siapa, bukan lagi kekuasaanmu nak”. Sejenak perkataan paman membuat beberapa rak yang riuh ikut tercenung. Entah merenung entah segan membuat keributan di tengah orasi paman yang berusaha menyadarkanku. Namun, aku merasa ada nada hangat dalam nasihatnya yang mengusir kegundahanku.

Hujan sudah berhenti sepenuhnya. Kakek pemilik toko dan cucunya terlihat rapi dan segar dengan sajadah yang disampirkan ke pundak. Aku melihat wajahnya yang bersih khas anak-anak, berkerut-kerut sedih. Aku bertanya-tanya dalam pikiranku sendiri. 

“Kakek, aku tidak suka menyetorkan hafalanku pada ustadzah hana, jika satu saja bacaan tajwid ku salah, aku disuruh mengulang dari awal halaman. Aku sudah mengulang hafalan ku ini sampai sepuluh kali, tapi ustadzah hana tetap tak membolehkan aku untuk melanjutkan hafalan baru. Aku capek kek!. Boleh tidak, aku tidak ikut setor hafalan sampai ustadzah ulya sembuh?”. Suara cucu perempuan pemilik toko berseru sendu sambil menundukkan kepalanya. Aku menyaksikan semua kejadian sore ini dengan rasa penasaran. 

Kakek pemilik toko menggendong, dan mendudukkan cucu perempuannya itu, di meja biru. “Zain tidak suka cara ustadzah hana mengajar, atau zain lelah dengan alQuran?. Kakek belum paham maksud perkataan zain. Bisa ceritakan lagi?”. Ujar kakek pemilik toko sambil tersenyum. Aku melihat anak perempuan itu terlihat kesal dengan pertanyaan kakeknya. “Bukan itu maksudku kek, aku hanya kesal karena terus mengulang hafalan yang sama berkali-kali” jawabnya dengan wajah ditekuk. “ jadi zain, bosan dengan surah annisa, lalu kesal dengan ustadzah hana yang menyuruh zain terus mengulang surah annisa?” ujar kakek pemilik toko lagi. Aku melihat ada kesamaan antara kakek pemilik toko dengan paman La Tahzan dalam mencecar pertanyaan.

“Tidak!, aku tidak bosan dengan surah annisa” suara anak perempuan terdengar tegas. “ lalu?!” kakeknya terus membuat pertanyaan. “Sudahlah aku akan menyetorkan hafalanku lagi. Lagi pula kakek tidak akan mengerti maksudku bagaimana”. Anak perempuan itu berkata marah pada kakeknya dengan wajahnya yang kemerahan hampir menangis. Kakek pemilik toko menurunkan cucu perempuannya dari meja biru. Aku melihat ada senyum kemenangan dari wajah tuanya. “Baiklah, kakek memang tidak mengerti maksudmu zain, tapi sepertinya ustadzah hana sangat menyukaimu. Jadi, ayo kita ke masjid dan menemuinya!. Kakek akan memberimu hadiah jika sore ini ustadzah hana membiarkanmu melanjutkan hafalan baru. Kakek berjanji!”. Ujar kakek pemilik toko sumringah. “Aku mau es krim dan roti wangi dari toko IM”. “kali ini hadiahnya bukan kau yang pilih zain. Hahahaha…”. “Ya sudah aku tidak mau!”. “Alhamdulillaaah…”. “Ah..kakeeeekkk!!”.

Bulan sepenuhnya menggantikan tugas matahari menerangi kota tempat toko buku ini tinggal bersama puluhan toko lainnya. Dari rak tempatku tinggal, aku memandangi cahaya lampu jalanan yang memantul ke jalanan dan dinding serta kaca jendela toko-toko lain di seberang toko ini. Aku menunggu siluet cucu pemilik toko yang berlarian dari arah masjid dengan mukenanya yang berkibar melawan angin. Tak lama, aku melihat siluet kecilnya yang berlari menghindari genangan di depan toko, dengan seorang lelaki berjas hitam yang mengikutinya masuk kedalam toko buku ini. Berjalan-jalan di antara rak-rak tempatku, lalu berseru senang ke arahku, sambil mengangkat aku dan teman-temanku sekaligus ke dadanya, dan berjalan cepat ke meja biru. Aku tersentak kaget sambil berteriak ke arah paman La Tahzan. Namun paman hanya tersenyum sumringah kepadaku seperti biasanya. “Tidak!. Aku belum siap untuk pergi dari toko ini. Lagi pula aku tak apa menjadi buku yang terus berada disini dan dibaca oleh banyak orang tanpa di beli. Paman! aku mau disini!”. Teriakku histeris di meja biru. “Hei, nak tenanglah!. Ingat apa yang aku sampaikan padamu hari ini. Dan jangan lupa siapa kau dan apa tugasmu, kau harus terus bermanfaat nak!”. “Tapi paman, aku belum mengucapkan terimakasih dengan benar kepadamu”. “Ya nak, sama-sama. Tetap bersyukur dan jangan bersediiih…”. Perkataan paman sayup kudengar karena pria berjas hitam ini sudah memasukkan kami kedalam tasnya dan berjalan keluar.

EPILOG…..

Matahari belum tampak sinar-sinarnya. Lampu-lampu di atas-atas rak gagah ini masih menyala dengan terang. Lalu, suara azan yang sering kudengar dari kejauhan ketika aku tinggal di toko milik kakek tua dan cucu perempuannya yang bernama zain itu, menggema kuat di dalam bangunan ini. Suaranya sampai menggetarkan rak-rak megah disini dan buku-buku didalamnya. Makin kencang dan panjang suara adzannya, makin bergetar rak-raknya. Sungguh riuh oleh suara dzikir dan sautan. Sebenarnya ada dimana aku, apakah bangunan yang sangat dekat dengan masjid?. “Para buku dan AlQuran sekalian, sebentar lagi, orang-orang mu’min akan membaca kalian! Bersiaplah! Persiapkan diri kalian untuk menyambut mereka. Dan jangan sampai lupa, bahwa kalian akan menjadi saksi mereka nanti di akhirat. Sambutlah dan ingatlah wajah-wajah berseri mereka dengan baik. Sesungguhnya Allah mengawasi kita”. Salah satu dari buku di rak yang paling megah disini, berseru lantang dengan riuhan semangat yang menular dari rak ke rak. Sepertinya aku tahu aku berada dimana sekarang. Tempat dimana adzan selalu berkumandang, tempat dimana banyak mulut-mulut kecil saling berebut melafalkan kalam-kalam mulia di setiap sore, tempat dimana gaungan AlQuran tak pernah henti siang dan malam, hujan atau terik. Dari jauh aku melihat zain cucu kakek pemilik toko berlarian ke arah rak-rak megah, menggapaiku lalu menarikku dengan sigap. Dengan jari-jari mungilnya, begitu semangat membolak-balik halaman-halamanku. Keyakinanku menguat. Rencana Allah tak terbaca dan selalu indah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top