Pentingnya Adab Sebelum Ilmu

Kakek dan nenek manusia yang pertama yaitu Adam dan Hawa awal diciptakan dan ditempatkan langsung di surga. Sebuah Kehidupan yang penuh dengan kesenangan, tidak ada kebencian, kedengkian, kesusahan dan kepayahan. Tidak ada daya dan upaya yang harus diusahakan untuk memenuhi segala kebutuhan. Semua sudah tersedia tanpa harus diminta. Tidak ada lapar dan dahaga, tidak ada keringat dan kotoran lainnya. Gambaran tersebut barangkali lebih dari sekedar analogi pada kehidupan janin yang berada dalam rahim ibunya. Janin bisa mendapatkan segala kebutuhan dari tubuh ibunya tanpa harus bersusah payah sampai akhirnya dia terlahir ke dunia fana.

Manusia diberi kebebasan untuk  memilih jalan hidup yang akan dijalani. Namun kebebasan yang dimiliki bukan kebebasan tanpa batas. Kebebasan yang dimiliki adalah kebebasan yang bertanggung jawab berdasarkan aturan yang sudah digariskan. Dibekalinya manusia berupa aturan-aturan agar mengenali jalan kembalinya. Jalan kembali ke surga. 

Ada banyak jalan menuju surga, salah satunya adalah dengan menuntut ilmu. Seperti yang telah diriwayatkan dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, No. 2699).

Menuntut ilmu adalah amalan mulia yang akan mempermudah jalan menuju surga. Sehingga seorang murid dituntut untuk memperhatikan adab-adabnya saat belajar di kelas maupun dimana saja. Hal ini karena amalan yang mulia harus dilakukan dengan cara yang mulia pula. Bahkan ulama salaf dahulu sangat memperhatikan adab dalam belajar, sampai-sampai mereka mementingkan adab terlebih dahulu sebelum belajar ilmu. Seorang penuntut ilmu harus menghiasi dirinya dengan adab dan akhlak mulia. 

Adab secara bahasa artinya menerapkan akhlak mulia. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan:

وَالْأَدَبُ اسْتِعْمَالُ مَا يُحْمَدُ قَوْلًا وَفِعْلًا وَعَبَّرَ بَعْضُهُمْ عَنْهُ بِأَنَّهُ الْأَخْذُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ

“Al adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinsikan, adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia” (Fathul Bari, 10/400). Adapun dalil-dalil tentang perintah untuk berakhlak mulia, memuliakan ilmu dan ulama diantaranya: 

A. Dalil-dalil tentang perintah untuk berakhlak mulia diantaranya:

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أكملُ المؤمنين إيمانًا أحسنُهم خُلقًا

“Kaum Mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Tirmidzi no. 1162, ia berkata: “hasan shahih”).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّما بعثتُ لأتمِّمَ مَكارِمَ الأخلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 45).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ أثقَلَ ما وُضِع في ميزانِ المؤمِنِ يومَ القيامةِ خُلُقٌ حسَنٌ وإنَّ اللهَ يُبغِضُ الفاحشَ البذيءَ

“Sesungguhnya perkara yang lebih berat di timbangan amal bagi seorang Mu’min adalah akhlak yang baik. Dan Allah tidak menyukai orang yang berbicara keji dan kotor” (HR. At Tirmidzi no. 2002, ia berkata: “hasan shahih”).

B. Dalil-dalil tentang perintah untuk memuliakan ilmu dan ulama diantaranya:

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya” (QS. Al Hajj: 30).

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Al Hajj: 32).

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al Ahzab: 58).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحرب

“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Bukhari no. 6502).

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:

إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء الله فليس لله ولي

“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali” (diriwayatkan Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i, dinukil dari Al Mu’lim hal. 21).

Lebih lanjut, urgensi adab penuntut ilmu diantaranya adalah :

  1. Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong mendapatkan ilmu

Abu Zakariya An Anbari rahimahullah mengatakan:

علم بلا أدب كنار بلا حطب، و أدب بلا علم كروح بلا جسد

“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh” (Adabul Imla’ wal Istimla’ [2], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [10]).

Yusuf bin Al Husain rahimahullah mengatakan:

بالأدب تفهم العلم

“Dengan adab, engkau akan memahami ilmu” (Iqtidhaul Ilmi Al ‘Amal [31], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]).

Sehingga belajar adab sangat penting bagi orang yang mau menuntut ilmu syar’i. Oleh karena itulah Imam Malik rahimahullah mengatakan:

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Belajarlah adab sebelum belajar ilmu” (Hilyatul Auliya [6/330], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17])

2. Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong berkahnya ilmu

Dengan adab dalam menuntut ilmu, maka ilmu menjadi berkah, yaitu ilmu terus bertambah dan mendatangkan manfaat.

Imam Al Ajurri rahimahullah setelah menjelaskan beberapa adab penuntut ilmu beliau mengatakan:

حتى يتعلم ما يزداد به عند الله فهما في دينه

“(hendaknya amalkan semua adab ini) hingga Allah menambahkan kepadanya pemahaman tentang agamanya” (Akhlaqul Ulama [45], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [12]).

3. Adab merupakan ilmu dan amal

Adab dalam menuntut ilmu merupakan bagian dari ilmu, karena bersumber dari dalil-dalil. Dan para ulama juga membuat kitab-kitab dan bab tersendiri tentang adab menuntut ilmu. Adab dalam menuntut ilmu juga sesuatu yang mesti diamalkan tidak hanya diilmui. Sehingga perkara ini mencakup ilmu dan amal.

Oleh karena itu Al Laits bin Sa’ad rahimahullah mengatakan:

أنتم إلى يسير الأدب احوج منكم إلى كثير من العلم

“Kalian lebih membutuhkan adab yang sedikit, dari pada ilmu yang banyak” (Syarafu Ash-habil Hadits [122], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]).

4. Adab yang baik merupakan tanda diterimanya amalan

Seorang yang beradab ketika menuntut ilmu, bisa jadi ini merupakan tanda amalan ia menuntut ilmu diterima oleh Allah dan mendapatkan keberkahan. Sebagian salaf mengatakan:

الأدب في العمل علامة قبول العمل

“Adab dalam amalan merupakan tanda diterimanya amalan” (Nudhratun Na’im fi Makarimi Akhlaqir Rasul Al Karim, 2/169).

Kisah-kisah Para Ulama dalam Perjalanan Menuntut Ilmu

Kisah Imam Syafi’i ketika belajar kepada Imam Malik 

Saat itu Imam Malik sedang membacakan hadits 40, hadits nabi. Di tengah pelajaran ia melihat muridnya bermain dengan air liurnya. Hal ini membuat hati Imam Malik bersedih. Setelah majelis usai, Imam Malik memanggil muridnya itu dan bertanya, kenapa engkau tadi bermain-main di tengah pembacaan hadits nabi yang mulia. Murid tersebut menjawab, “Saya ini anak yang miskin. Tidak mampu membeli kertas dan pena untuk mencatat hadits yang engkau sampaikan. Maka saya menuliskannya dengan air liur di atas tumpukan jerami ini, agar aku bisa menghapalnya dan tidak lupa.” mendengar jawaban itu Imam Malik terkejut dan berkata, ”Allah telah menyalakan cahaya di dalam hatimu maka janganlah kau memadamkannya dengan melakukan maksiat.”

Kisah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani

Ketika hendak belajar menuju ke Baghdad, ibunya memberikan uang 40 dinar dan berwasiat untuk selalu berlaku jujur. Di tengah perjalanan ia dihadang oleh perampok. Semua kafilah disuruh menyerahkan harta mereka. Tibalah giliran Abdul Qadir kecil, “Apa yang kamu bawa?” tanya salah satu perampok. Kemudian ia menjawab, “40 dinar dikantongku”. Perampok ini heran dengan jawaban sang anak dan melapor ke bosnya. Mendengar itu, ia penasaran dan langsung menghampiri sang anak, “Kenapa engkau jujur dengan uang yang kau bawa ?” Abdul Qadir kecil menjawab, “Uang ini adalah pemberian ibuku untuk biaya menuntut ilmu. Ibuku berpesan agar aku selalu jujur dan tidak berbohong. Aku tidak ingin mengkhianati pesan ibuku.” Mendengar jawaban itu bos perampok menangis dan berteriak, “Bagaimana kau bisa tidak mengkhianati sumpahmu terhadap ibumu, sedangkan aku selalu melanggar ketentuan Allah SWT. Dengan ini saksikanlah, aku akan mengembalikan seluruh harta kalian dan bertaubat kepada Allah SWT.” 

Untuk itu, kita perlu memperhatikan adab-adab dalam menuntut ilmu, serta adab-adab yang harus ada dalam diri pembelajar, yaitu:

Adab Menuntut Ilmu menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulum Ad-Din:

  • Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah 
  • Mengurangi kesenangan-kesenangan duniawi
  • Menjauh dari kampung halaman hingga hatinya terpusat untuk ilmu
  • Tidak sombong dalam menuntut ilmu
  • Tidak membangkang kepada guru
  • Menghindar dari mendengarkan perselisihan di antara sesama manusia
  • Tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi harus menekuninya hingga mengetahui maksudnya
  • Mengalihkan perhatian kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat
  • Tujuan belajar adalah menghiasi batin dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah SWT

Adab yang harus ada dalam diri pembelajar:

  • Membersihkan hatinya dari berbagai penyakit hati sebagai jalan untuk terbuka batin dalam menerima ilmu
  • Membenarkan niat dalam mencari ilmu hanya untuk menggapai ridho Allah ta’ala
  • Untuk bersusah payah dan sabar atas cobaan yang menimpa di masa pembelajaran
  • Manajemen waktu, pagi untuk menghafal, siang mencatat pelajaran, malam untuk belajar
  • Menyedikitkan makan dan tidur

Pendidikan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan manusia di muka bumi. Karena, manusia tercipta memiliki dua amanah yang besar, yaitu pertama, sebagai ‘abd Allah (Hamba Allah) yang mempunyai serentetan tugas dan amanah yang harus diembannya untuk melaksanakan apa yang menjadi perintah Tuhan-Nya. Kedua, manusia sebagai Khalifah Allah (pengganti atau wakil Allah) yang mana memiliki serangkaian pekerjaan dalam rangka menjadi khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, manusia tentu mempunyai cita-cita untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan untuk meraih cita-cita tersebut manusia membutuhkan ilmu, dan ilmu yang berkah dan bermanfaat dapat diraih saat kita sudah mempelajari adab. 

Penulis: Dewi Nur Laeli (@el.nun)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top